Dengan diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
mengamanatkan bahwa setiap orang atau warga negara berhak atas jaminan sosial
untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya
menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur. Untuk penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial
Nasional telah dibentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). DJSN dalam UU
diamanatkan berfungsi merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi
penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Untuk pelaksanaannya perlu
adanya Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS). BPJS adalah Perusahaan Perseroan
(Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), Perusahaan Perseroan
(Persero) Dana Tabungan dan Asuransi
Pegawai Negeri (TASPEN), Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI), dan Perusahaan Perseroan
(Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES).
(SJSN) mengamanatkan
penyelenggaraan 5 program jaminan, yaitu: jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan
kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Dari kelima
program jaminan yang wajib menjadi prioritas SJSN adalah Jaminan Kesehatan.
Sampai saat ini, cakupan kepesertaan program jaminan kesehatan baru mencapai
50% dari jumlah penduduk. Untuk mencapai total coverage (cakupan bagi seluruh
rakyat) peserta wajib membayar iuran, kecuali warga miskin dibayar pemerintah.
Oleh karena itu perlu partisipasi masyarakat untuk berkontribusi dalam
pembiayaan jaminan kesehatan untuk saling bekerja sama menuju prinsip-prinsip
SJSN, yaitu; kegotong royongan, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas,
kompabilitas, dan kepesertaan.
Sistem kesehatan
Indonesia saat ini sangat tidak memihak kepada rakyat. Hal ini tercermin dari
sistem pembayaran jasa per pelayanan yang diterapkan Indonesia, meskipun
pelayanan tersebut disediakan di Rumah sakit publik. Standar biaya atas
pelayanan dokter juga belum ada dan menambah ketidakpastian biaya pelayanan
kesehatan. Harga obat-obatan yang beredar di Indonesia juga sangat mahal dan
beragam meskipun memiliki kandungan yang sama. Di samping biaya tidak pasti
tergantung merk obat yang diberikan ke pasien ini sudah jelas akan membuat
biaya pengobatan menjadi semakin mahal. Rakyat Indonesia menghadapi
ketidakpastian dan biaya yang semakin tinggi dalam memperoleh pelayanan
kesehatan. Pelayanan kesehatan di Indonesia masih bersifat you get what you pay
for, masyarakat menerima pelayanan sesuai dengan apa yang dibayarkan sehingga
bagi yang kurang mampu otomatis pelayanan yang diberikan adalah seadanya dan
bagi yang kaya terkadang diberikan lebih dari yang dibutuhkannya. Pola seperti
ini akan memudahakan pelayanan kesehatan untuk dikomersialisasi dan biaya untuk
penyembuhan akan menjadi semakin mahal. Seharusnya pelayanan kesehatan lebih
kepada kebutuhan dan diberikan pelayanan sesuai dengan apa yang dibutuhkan
untuk penyembuhan.
Pembentukan jamkes
SJSN secara pararel harus diikuti dengan penetapan standar biaya pelayanan kesehatan
bagi dokter yang praktik di seluruh Indonesia. Penetapan standar biaya dokter
ini akan meredam kenaikan biaya pengobatan dan secara otomatis akan menurunkan
besaran kapitasi bagi para peserta jamkes SJSN, dalam hal ini adalah seluruh
rakyat Indonesia. Kemudian hal terkait pengobatan yang penting di Indonesia
adalah mahalnya obat-obatan, yang saat ini termahal di Asia Tenggara.
Pemerintah perlu bekerja keras bagaimana menciptakan suatu sistem agar
obat-obatan di Indonesia harganya bisa diatur.
Kemudian dalam hal
memperoleh akses pelayanan kesehatan, tidak semua daerah di Indonesia memiliki
fasilitas infrastruktur yang memadai begitu juga dengan tempat pelayanan
kesehatan tidak ada di semua wilayah. Di daerah-daerah yang terpencil waktu dan
biaya yang diperlukan untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan sangat besar.
Lebih parahnya lagi adalah di daerah tertentu hampir tidak ada puskesmas yang
terjangkau secara logis dalam hal terjadi kejadian-kejadian yang gawat seperti
kecelakaan dan lahiran bagi ibu hamil. Jika jamkes SJSN ini dilaksanakan tanpa
mempedulikan ketersediaan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat di daerah
maka akan menjadi sangat tidak adil.
Mengenai badan
pelaksana jaminan sosial dalam hal jaminan kesehatan perlu dilaksanakan oleh
badan yang kompeten dan memiliki pengalaman yang pasti di bidanganya. Ini akan
sangat menunjang pelaksanaan jaminan kesehatan SJSN itu sendiri. Pemerintah
tidak perlu membentuk BPJS dalam hal pelaksanaan jamkes SJSN, karena PT Askes
berdasarkan UU SJSN adalah BPJS dan bisa diberikan penugasan sehubungan dengan
pelaksanaan jamkes SJSN dengan UU SJSN maupun dengan sistem PSO terkait dengan
PT Akses sebagai BUMN.
Jadi kesimpulannya
jamkes SJSN adalah suatu sistem jaminan kesehatan yang perlu untuk segera
direalisasikan di Indonesia. Realisasi ini akan sangat tepat jika diikuti
dengan beberapa kebijakan terkait dengan pemerataan dan biaya yang harus
dikeluarkan pemerintah. Pemerintah perlu untuk menetapakan standar biaya pengobatan
termasuk standar pelayanan dokter dan harga obat-obat, mendukung kemudahan
akses pelayanan kesehatan dengan infrastruktur yang memadai dan terakhir
menugaskan PT Askes sebagai BPJS dalam hal jaminan kesehatan untuk efisiensi
bagi Pemerintah dan menjamin kualitas pelayanan SJSN.
Kita sebagai generasi
penerus bangsa yang bergerak di bidang kesehatan juga harus ikut berpartisipasi
dalam memajukan jaminan kesehatan di Indonesia, salah satunya dengan cara
menetapkan tujuan mulia apa yang ingin kita capai ke depannya. Dengan adanya
tujuan tersebut kita menjadi termotivasi untuk mempelajari dan mencari tahu
tentang berbagai hal yang berhubungan dengan bidang yang kita pelajari yang
nantinya bisa diterapkan di masyarakat luas.
-Rafika Fitri Qonita-