Pages

Jumat, 16 November 2012

Isu Kesehatan SJSN


Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mengamanatkan bahwa setiap orang atau warga negara berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur.  Untuk penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional telah dibentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). DJSN dalam UU diamanatkan berfungsi merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Untuk pelaksanaannya perlu adanya Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS). BPJS adalah Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), Perusahaan Perseroan (Persero) Dana  Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN), Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI), dan Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES).    
(SJSN) mengamanatkan penyelenggaraan 5 program jaminan, yaitu: jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Dari kelima program jaminan yang wajib menjadi prioritas SJSN adalah Jaminan Kesehatan. Sampai saat ini, cakupan kepesertaan program jaminan kesehatan baru mencapai 50% dari jumlah penduduk. Untuk mencapai total coverage (cakupan bagi seluruh rakyat) peserta wajib membayar iuran, kecuali warga miskin dibayar pemerintah. Oleh karena itu perlu partisipasi masyarakat untuk berkontribusi dalam pembiayaan jaminan kesehatan untuk saling bekerja sama menuju prinsip-prinsip SJSN, yaitu; kegotong royongan, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, kompabilitas, dan kepesertaan.
Sistem kesehatan Indonesia saat ini sangat tidak memihak kepada rakyat. Hal ini tercermin dari sistem pembayaran jasa per pelayanan yang diterapkan Indonesia, meskipun pelayanan tersebut disediakan di Rumah sakit publik. Standar biaya atas pelayanan dokter juga belum ada dan menambah ketidakpastian biaya pelayanan kesehatan. Harga obat-obatan yang beredar di Indonesia juga sangat mahal dan beragam meskipun memiliki kandungan yang sama. Di samping biaya tidak pasti tergantung merk obat yang diberikan ke pasien ini sudah jelas akan membuat biaya pengobatan menjadi semakin mahal. Rakyat Indonesia menghadapi ketidakpastian dan biaya yang semakin tinggi dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan di Indonesia masih bersifat you get what you pay for, masyarakat menerima pelayanan sesuai dengan apa yang dibayarkan sehingga bagi yang kurang mampu otomatis pelayanan yang diberikan adalah seadanya dan bagi yang kaya terkadang diberikan lebih dari yang dibutuhkannya. Pola seperti ini akan memudahakan pelayanan kesehatan untuk dikomersialisasi dan biaya untuk penyembuhan akan menjadi semakin mahal. Seharusnya pelayanan kesehatan lebih kepada kebutuhan dan diberikan pelayanan sesuai dengan apa yang dibutuhkan untuk penyembuhan.
Pembentukan jamkes SJSN secara pararel harus diikuti dengan penetapan standar biaya pelayanan kesehatan bagi dokter yang praktik di seluruh Indonesia. Penetapan standar biaya dokter ini akan meredam kenaikan biaya pengobatan dan secara otomatis akan menurunkan besaran kapitasi bagi para peserta jamkes SJSN, dalam hal ini adalah seluruh rakyat Indonesia. Kemudian hal terkait pengobatan yang penting di Indonesia adalah mahalnya obat-obatan, yang saat ini termahal di Asia Tenggara. Pemerintah perlu bekerja keras bagaimana menciptakan suatu sistem agar obat-obatan di Indonesia harganya bisa diatur.
Kemudian dalam hal memperoleh akses pelayanan kesehatan, tidak semua daerah di Indonesia memiliki fasilitas infrastruktur yang memadai begitu juga dengan tempat pelayanan kesehatan tidak ada di semua wilayah. Di daerah-daerah yang terpencil waktu dan biaya yang diperlukan untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan sangat besar. Lebih parahnya lagi adalah di daerah tertentu hampir tidak ada puskesmas yang terjangkau secara logis dalam hal terjadi kejadian-kejadian yang gawat seperti kecelakaan dan lahiran bagi ibu hamil. Jika jamkes SJSN ini dilaksanakan tanpa mempedulikan ketersediaan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat di daerah maka akan menjadi sangat tidak adil.
Mengenai badan pelaksana jaminan sosial dalam hal jaminan kesehatan perlu dilaksanakan oleh badan yang kompeten dan memiliki pengalaman yang pasti di bidanganya. Ini akan sangat menunjang pelaksanaan jaminan kesehatan SJSN itu sendiri. Pemerintah tidak perlu membentuk BPJS dalam hal pelaksanaan jamkes SJSN, karena PT Askes berdasarkan UU SJSN adalah BPJS dan bisa diberikan penugasan sehubungan dengan pelaksanaan jamkes SJSN dengan UU SJSN maupun dengan sistem PSO terkait dengan PT Akses sebagai BUMN.
Jadi kesimpulannya jamkes SJSN adalah suatu sistem jaminan kesehatan yang perlu untuk segera direalisasikan di Indonesia. Realisasi ini akan sangat tepat jika diikuti dengan beberapa kebijakan terkait dengan pemerataan dan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah. Pemerintah perlu untuk menetapakan standar biaya pengobatan termasuk standar pelayanan dokter dan harga obat-obat, mendukung kemudahan akses pelayanan kesehatan dengan infrastruktur yang memadai dan terakhir menugaskan PT Askes sebagai BPJS dalam hal jaminan kesehatan untuk efisiensi bagi Pemerintah dan menjamin kualitas pelayanan SJSN.
Kita sebagai generasi penerus bangsa yang bergerak di bidang kesehatan juga harus ikut berpartisipasi dalam memajukan jaminan kesehatan di Indonesia, salah satunya dengan cara menetapkan tujuan mulia apa yang ingin kita capai ke depannya. Dengan adanya tujuan tersebut kita menjadi termotivasi untuk mempelajari dan mencari tahu tentang berbagai hal yang berhubungan dengan bidang yang kita pelajari yang nantinya bisa diterapkan di masyarakat luas.
-Rafika Fitri Qonita-